Kamis, 19 Maret 2009

Iedul Adha 2008

“ SELAMAT IEDUL ADHA 1429 H……”.
Memandang sekeliling, menerka, ada siapa saja disana? Aku agak melongokkan kepalaku kearah para ikhwan sedang duduk berbaris-baris. Di lantai satu itu. Tepat dibawah sana. Memandang dari atas, aku seperti pengintai. Waw! Rapinya. Tapi sayang aku tak mengenal satupun dari mereka. Tap!! Eh..Ada beberapa mata yang bertabrakan dengan penglihatanku. Huh, dasar ikhwan, nggak GB banget ce…nggak tahu orang lagi pengen lihat-lihat apa?!!

Sesaat aku beristigfar..berbarengan dengan gemuruh riuhnya gema takbir. Bibir wajah dan bibir hati serabutan berucap. Antara haru dan bahagia. Iedul Adha ini aku masih di negeri orang. Iedul Adha ini aku masih sendiri. Iedul Adha ini aku belum bisa berkurban. Oh…Iedul Adha ini, aku tak jauh beda dengan Iedul Adha tahun lalu…Aku belum bisa berhaji.
Dua puluh menit lagi Sholat Ied akan dimulai. Sang imam mengumumkan untuk merapatkan barisan Shaf kami semua.

“ Bu, luruskan….”. seorang ibu tiba-tiba maju ke depan dan memberi aba-aba agar barisan di luruskan, tapi ibu itu kok agak sinis ya? Eh, Astagfirullah..bukannya Suudzan atau apa, tapi..ibu itu wajahnya tidak ramah, bahkan nada bicaranya itu?

“Ayo Mbak, diluruskan, agak maju..”. Si Ibu kembali menghalau mbak-mbak yang ada di barisan depanku. Si Mbak pun mengikuti, dia bersungut-sungut maju. Aku lega, karena tadi mbak-mbak itu seperti tak menghiraukan teguran sang ibu, dan itulah mungkin yang menyebabkan sang ibu menjadi EsMoSi…Eh-mosi..(emosi maksoednya!).

Treeet!Treeet!...Akhirnya benda yang ku tunggu-tunggu muncul juga. Ada yang tahu benda apa yang paling ku tunggu saat di Masjid? Kotak infaq! Ini dia. Sebab, aku maluuu banget kalau memasukkan uang infaq pada kotak yang diam, maksudnya kotak yang diletakkan di dekat pintu masuk, atau di pinggir-pinggir ruangan, soalnya kenapa? Kalau memasukkan uang disana pasti dilihatin orang-orang, apalagi dalam suasana ramai seperti ini, oh tidaaak!. Plung..!!! Lega sudah hati ini memasukkan tabungan akhirat. Kalau masukin di kotak yang berjalan begini kan a man, tidak mencolok, dan bisa ditutupin pakai mukenaku..heheee…

Yapz! Alhamdulillah…Saatnya sholat Ied tiba. Kami semua, para Jama’ah saling merapatkan diri. Sekali lagi sang imam menyeru.
“ mohon shafnya dirapatkan. Barisan diluruskan. Untuk ibu-ibu yang ada di luar, mohon memenuhi dulu di dalam masjid lantai dua, karena spacenya masih ada, mohon dipenuhi dulu. Para bapak, harap agak maju agar para ibu bisa lewat. Jika sudah penuh, bagian tangga masjid juga bisa digunakan. Untuk yang di sebelah utara masjid, jika sudah penuh, bagian selatan masih banyak yang kosong, silahkan diisi “. Suara imam memantul-mantul dari mikropon.
“ Gerakan sholat pada iedul adha ini pada umumnya adalah sama dengan sholat iedul fitri, yaitu tujuh takbir pada rakaat pertama, dan lima kali takbir pada rakaat kedua…”. Tambahnya, kemudian sholatpun dimulai.

Usai sholat, sang khatib membacakan khutbah. Sangat menyentuh, menceritakan bagaimana pengorbanan Nabi Ibrahim sekeluarga. Aku ingin menangis, tak terbayang, jangankan diuji seperti Nabi Ibrahim, diuji oleh kehilangan suatu benda saja aku sudah sangat –sangat merasa berat, kehilangan uang misalnya, kartu ATM, atau HP?!! Akan sangat susah untuk ikhlas. Selesai sudah Khotbah yang penuh pelajaran itu. Subhanalloh…ternyata khotibnya adalah seorang yang sudah sepuh! Ku kira tadi orangnya masih muda, lha wong suaranya begitu bersemangatnya!.

Aku beranjak untuk pulang. Kok basah Koran-koran yang berserakan di bawah itu. Koran-koran bekas digunakan untuk alas sholat jamaah yang berada di luar. Kenapa basah? Sepertinya tidak mungkin karena disemprot? Hah! Hujan rupanya. Jadi, tadi ketika sholat, jamaah yang berada di luar masjid kehujanan dong? Subhanalloh…kasihan sekali. Betul-betul sesuatu pengorbanan!

Ya Alloh…Aku bersyukur padaMu atas Rahmatmu di pagi Iedul Adha ini.
Ku telpon Mamaku…
“Mama, bagaimana kabar iedul adha disana? Kurbannya ada berapa?”. Tanyaku langsung nyerocos.
“ Assalamualaikum…”. Mamaku menyela, aku jadi malu..
“ Iya waalaikumussalam…heheee…”. Jawabku
“ Disini yang kurban hanya ada beberapa orang nak, tidak sebanyak tahun lalu. Eh, Nduk, doakan ya?”. Kata-kata Mama sengaja diputus, mencurigakan.
“ Doakan? Doakan apa Ma?”. Tanyaku heran.
“ Pokoe doakan. Tahun depan kita bisa Kurban ya! Mama sudah lama ingin kurban, tapi belum bisa-bisa”. Ucap mama, membuatku bersemangat.
“ Yapz! Amiiin…Pasti ku doakan Ma, tenang aja. Emang kurban kambing berapa sih harganya Ma?”. Tanyaku kemudian.
“ sekitar satu jutaan, kalo sapi lima sampe 10 jutaan..” Jawab Mama.
“ Wow! Seru juga ya Ma, Oke deh! Ayo ma, semangat buat kurban tahun depan, ku juga mau nabung ah! Khusus untuk kurban tahun depan!”. Ucapku seolah untuk diriku sendiri.
“ Ayah mana Ma, adik-adik?”
“Belum pulang, tadi katanya mau ikut beres-beres di masjid dulu, adik-adikmu sudah pada kabur, katanya sih tadi mau bantuin bagiin daging kurban. Padahal kan belum disembelih..”. Mama tertawa.
“ Ooo…ya udah deh, salam aja untuk ayah sama adik-adik, Met Ied Adha ya Ma…moga nantinya kita juga diberi Alloh Rizki untuk bisa naik haji dan berkurban…”. Ucapku mengakhiri perbincangan.
“ Amiiin….”. Kata-kata Mama di seberang pulau sana, berbarengan dengan “Amiiin”ku di pulau Jawa ini-dalam hati-.


Fty, Bulak Sumur. Monday 8th Des,2008

Tidak ada komentar: